Wednesday, November 9, 2011

seribu delapan ratus.

Tiada hari yang tidak Ia habiskan di tepi pantai ini. Tak peduli apakah hari ini matahari akan bertemu bulan di tempat biasa, atau justru bulan yang berlari menghindari matahari. Bagi nya cepat atau lambatnya waktu tak lagi menjadi hal yang menarik. Ia memilih menjadi buta dibalik bingkisan sinar matanya yang teduh, persis seperti ia terbiasa menjadi besi di balik balutan kulit yang terus meronta dikala siang dan menggigil di waktu malam.

Hari ini tepat hari ke 1800 ia merayakan kesendiriannya di pantai ini. Ia tau betul karena tak satu haripun terlewatkan olehnya tanpa menghitung hari. Memang 1800 hari bukanlah waktu yang sebentar. Jika saja jagung dipanen pada usia 1800 hari, tentu tidak ada istilah ‘seumur jagung’. Tapi hitungan 1800 ternyata belum juga mampu memberikan jarak yang jauh dari hari terakhir yang ia ingat.

Ia berlari kearah laut, berlari dan terus berlari seperti laju pedang yang dihunus untuk menusuk dan membelah ombak. Tak ia rasakan lagi tajamnya karang membuat telapak kakinya bedarah. Darah yang disambut langsung oleh air laut,betapa pedihnya. Oh andai saja darah bisa membuatnya merasa hidup, tentu ia tak butuh ribuan hari, namun luka tak berdarah ini terlalu tangguh merenggut hidupnya.

Air laut kini sudah mencapai pingganggnya, ia masih terus berlari meski langkahnya kini semakin berat. Saat ini, untuk sekian lama, kembali ia merasakan jantungnya berdetak, kencang dan tidak teratur. Ia seolah mendengarnya begitu jelas, detak dalam tiap denyut. Ia mulai menutup mata, ingin merasakannya lebih  dan lebih dalam. Ia menambah tenaga untuk mempercepat larinya, semakin jelas pula kini denyut yang ia rasakan. Air kini sudah mencapai dadanya, ia pun melambat dengan tetap menutup mata.

Ia membiarkan denyut jantungnya bergema di gulungan air asin itu. Ia tidak menghitung berapa jumlah denyutnya seperti ia biasa menghitung hari. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya laut mulai kehilangan gema denyut jantung itu, sesaat setelah satu kakinya masuk kedalam lubang karang. Ia terjatuh. Kali ini bukanlah pedang yang membelah ombak,tapi tubuhnya. Kepalanya membentur karang, cukup keras, sangat cukup untuk membuatnya tenggelam, ke dalam air dan ke dalam mimpi.

Harmoni ; itu lah nuansa yang jarang sekali ada. Setidaknya dalam dunia di balik pasir putih sana, harmoni adalah sesuatu yang langka. Para pemetik gitar maupun penabuh drum mampu melahirkan harmoni, tapi tidak semua bertindak sebagai orang tua dari anak kandung yang diberi nama harmoni. Beberapa menganggap pola keteraturan dan keselarasan hanya akan terjadi ketika bumi berhenti berputar. Betapa sempitnya. Betapa tidak beruntungnya manusia jika demikian.

Jauh di bawah laut, sebuah pesta sepertinya tengah berlangsung. Ada banyak nyanyian yang terdengar, meski berbeda, harmoni mampu merangkul semuanya. Ada Kelompok-kelompok ikan seperti Mackerel, Tuna, Marlin, Layaran, Todak, Pedang, dll. Selain kelompok-kelompok ikan terdapat juga jenis alga dan ratusan jenis hewan serta tumbuhan laut lainnya. Mereka bernyanyi karena salah satu peramal mengatakan bencana tidak akan menghampiri mereka setidaknya satu tahun ini. Lagu-lagu dari berbagai tema mulai dari lagu romantisme hingga lagu perjuangan meskipun dinyanyikan secara bersamaan justru terdengar harmoni, seperti yang dimainkan di panggung orkestra.

Riuh suara nyanyian kemudian mulai memudar. Satu persatu pandangan ikan-ikan dan hewan serta tumbuhan lainnya mulai melirik ke satu arah. Hingga akhirnya keadaan berubah menjadi sunyi. Hanya bunyi sayup sayup, dari sesosok makhluk yang terbaring sembari terus tenggelam dengan rambut terurai, mata terpejam, dan kedua tangan menempel pada dada kirinya. Wajahnya begitu teduh hingga kesunyian yang tiba-tiba hadir ditengah pesta tadi terasa sangat pantas menyambut momen ini. Perlahan namun pasti ia rebah pada sepetak terumbu karang putih.

Ditengah heningnya situasi, munculah si peramal, seekor gurita, Bapa Octopuss berjalan tertatih karena usianya yang sudah sangat tua. Ia berjalan dengan tongkatnya, mengelilingi anak manusia yang berbaring pada sepetak terumbu karang putih. Semua penghuni kini tengah menanti kalimat yang akan keluar dari mulut gurita tua ini.

“Tolong panggilkan aku ketua Archelon”
“Baik…akan ku panggilkan segera” kata seekor ikan Marlin.

Tak lama kemudian munculah seekor ikan Marlin tadi kembali dengan sepasang penyu yang berpegangan di siripnya. Mama penyu dan Bapa penyu, sesepuh dari keluarga Archelon.

“Ada apa Bapa Octopus ?”
“Bawalah ia bersama mu, ada yang perlu ia pelajari dari cara mu hidup…”
“Baik lah….”

Lalu si gurita peramal meminta kepada penduduk-penduduk yang tengah berkumpul untuk bubar dan bertindak seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Ia juga meminta kepada setiap makhluk hidup untuk bersikap ramah kepada ‘tamu baru’ ini.

Seperti tidak ada rasa terkejut, ‘tamu baru’ ini membuka matanya perlahan. Ia mencoba duduk dan melipat kakinya. Itulah saat pertama kali ia merasakan indahnya bangun tidur. Ia bahkan tidak merasa lingkungan ini adalah lingkungan berbeda. Ia seperti sangat yakin bahwa tadi malam ia memang tidur di tempat ini dan dengan kondisi seperti saat ini pula. Terbangun dari tidurnya, ia merasa senang melihat Mama Penyu. Spontan, baginya Mama Penyu seperti makhluk yang memang dikirimkan Tuhan khusus untuk menyambut paginya.

“Saya Vela….” *Mendekatkan wajahnya ke arah Mama Penyu*
“Disini kami tidak memperdulikan nama, kami membiarkan dunia sesukanya menamai kami…” *senyum*
“Aneh, lalu bagaimana kalian mengenali satu dengan yang lain ??”
“Kami percaya, ‘mata’ mampu menyampaikan lebih dari sekedar nama….”
“Ia tidak punya mata !” *menunjuk ke kumpulan terumbu karang*
“Kau tau, saat ini mereka sedang melihatmu…” *tertawa kecil sambil melambaikan sebelah tangannya ke kelompok terumbu karang*

Vela kemudian bejalan menuju hamparan terumbu karang itu, menempelkan wajahnya dekat-dekat, berharap menemukan apa yang ia sebut mata, bahkan satu mata saja jika sepasang mata terlalu sulit. Tapi ia tidak menemukan apa-apa selain kumpulan benda kenyal sebesar pensil yang bergerak menari, persis seperti kipas dayang-dayang seorang raja. Ketika ia menjauhkan mukanya dan berbalik arah hendak menuju ke mama penyu, ia di kelilingi oleh puluhan kawanan anak-anak ikan dengan warna yang sangat beragam. Seolah mengerti bahwa kawanan ikan-ikan kecil sedang tertawa, ia pun mulai berlari-lari kecil sambil tertawa pula. Membalas pandangan ikan-ikan tersebut satu persatu. Warna yang begitu kaya, pikirnya.

Mata seorang Vela memang tidak asing dengan warna, bahkan ia punya kemampuan yang baik dalam mengkombinasi berbagai warna untuk menciptakan suatu warna yang ada di benaknya. Ini pula lah yang menunjang hobby nya memberikan sentuhan warna tambahan pada editan foto-fotonya. Foto-foto yang selalu didominasi oleh wajah seorang pria, lelaki terakhir yang mengisi hari-harinya sebelum ia mulai menghitung hari di tepi pantai

Disini, di bawah sini, waktu berlalu dengan irama yang sepenuhnya ia sadari dan ia nikmati. Ia benar-benar menjadi manusia yang terlahir lagi. Ia bahkan tidak sempat merasa tidak pernah punya 1800 hari kemarin. Ia benar-benar baru dengan kapasitas fisik dan pembawaan orang dewasa yang telahir di tengah dunia yang sedang merayakan ‘musim liburan’. Semua makhluk sibuk liburan dan berpetualang di belahan dunia yang lain. Dan hanya ada satu tema besar dalam pikirannya, ini lah liburan mu.

Waktu berjalan terus, dan pada suatu hari setelah selesai berkeliling, Vela tidak melihat Mama Penyu seharian. Ia pun menghampiri Bapa Penyu.

“Dimana Mama Penyu ?”
“Ia sedang bersiap-siap…”
“Apakah Ia akan pegi ?”
“Iya…malam ini ia akan naik ke permukaan, menuju pasir….”
“Apa yang akan ia lakukan ?”
“Ia merasa telah tiba saatnya ia mengeluarkan telur-telurnya”
“Kalian akan punya anak….ini akan menyenangkan sekali….” *senyum hingga matanya mengecil*
“yahh….ini akan menyenangkan…” *senyum sambil memandang keatas*
***
Vela kini sibuk menganyam rumput-rumput. Ia berencana membuat tempat tidur yang nyaman untuk bayi-bayi penyu. Ia juga memindahkan beberapa batu karang ke sekitar tempat tidur tadi. Persis seperti area bermain taman kanak-kanak. Mama Penyu pun menyaksikan kegembiraan yang terpancar dibalik wajah kelelahan Vela.



“Hari ini kalau tidak ada gangguan kami akan ke permukaan…mungkin kau tertarik untuk ikut?”
“oh ya, apa yang kalian cari di atas ??” *heran*
“hari ini menurut perhitungan mama penyu, telur-telur akan menetas…jadi kami akan ke atas, bersiap-siap menyambut keturunan-keturunan kami…” *senyum sambil menggandeng tangan Bapa Penyu*
“wah….tentu saja aku harus ikut…aku ingin juga menikmati senyum pertama si kecil nanti…”
“baiklah…sekarang kita istirahat…nanti tengah malam kita baru mulai berangkat ke atas..”

Saat tengah malam datang, Bapa penyu pun membangunkan Mama Penyu dan Vela. Tak lupa ia juga membawa beberapa makanan ringan untuk mereka bertiga yang sudah ia siapkan tadi sore. Di tengah perjalanan menuju ke permukaan, beberapa ikan dan tumbuhan yang belum tertidur menyapa mereka bertiga. Ada yang menawarkan mereka mampir dan beristirahat sejanak sebelum melanjutkan perjalanan, ada pula yang hanya memberika senyuman hangat. Bapa dan Mama Penyu mengerti apa makna senyuman mereka. Ucapan selamat. Sementara Vela tenggelam dalam angan-angannya tentang ratusan anak penyu yang lucu-lucu yang tengah menantinya di permukaan nanti. Vela adalah penyuka bening mata anak-anak.

***

Detik-detik terakhir menjelang munculnya fajar adalah saat paling gelap di bumi. Situasi yang luput dipelajari oleh Vela; bahwa keadaan yang paling gelap sebenarnya adalah awalan munculnya cahaya sejati. Tapi lupakan sejenak soal ini, karena yang terpenting mereka bertiga sudah sampai di permukaan air laut. Mengambil jarak kira-kira 80 meter dari tepi garis pantai. Mengapung sejajar dengan tempat Mama Penyu mengubur telurnya.
Hari semakin pagi, Vela melihat Mama Penyu dan Bapa Penyu saling tersenyum dan tertawa kecil. Mereka berdua melihat ke arah yang sama. Vela tidak mengerti, namun tiba-tiba ia teringat apa yang diucapkan Mama Penyu, bahwa ‘mata mampu menyampaikan lebih dari sekedar nama’….Mungkin Mama Penyu dan Bapa Penyu sudah melakukan semacam kontak mata dengan ‘junior’ kecil yang baru lahir.

“Berapa jumlah telur yang terkubur disana pada malam itu ?”
“Aku tidak begitu menghitungnya, tapi aku yakin jumlahnya diatas 150…” *tangan Mama Penyu masih tetap menggandeng tangan Bapa Penyu*
“oh…mereka pasti anak-anak yang rukun…” *mengecilkan kelopak mata, meninggikan leher, berharap dapat melihat anak-anak penyu yang baru menetas*
“Pasti….mereka pasti hidup rukun….” *melempar senyum kea rah Vela*
Hanya ada mereka bertiga di tengah pekatnya gelap dan dinginya air saat ini. Sejenak Vela berpikir bahwa jika matahari pernah mengalah, ini lah saat nya. Senyum sepasang penyu itu merekah sebelum matahari membangunkan setiap benih di ladang harapan. Tak lama kemudian cahaya matahari mulai menembus ‘gorden teater’ mimpi ini. Sayup sayup, mata Vela mampu menangkap bayi-bayi penyu yang merangkak ke arah laut. Persis seperti kawanan prajurit namun tanpa pola barisan dan tanpa senjata, anak-anak penyu ini seperti telah otomatis diprogram mengenali dan menjalankan fungsi kaki dan tangan mereka sejak lahir. Tak terasa pula mata yang menempel pada wajah teduh Vela mulai berembun. Ahh....kegembiraan memang tak harus terpancar lewat bibir.

Perlahan namun pasti, kawanan bayi-bayi penyu kini mulai terlihat jelas. Sebagian bahkan sudah mengapung di atas air. Sesekali mereka tergoncang mundur dari jarak maju yang telah mereka tempuh. Kira-kira apa yang mereka rasakan ? Kesal kah ? Atau mereka justru tertawa ? ahh..siapa peduli ! Vela hanya tak sabar mengangkat mereka satu persatu untuk mendekatkan mereka ke wajahnya, melihatnya dengan detail.
Ada sekitar 10 anak penyu yang hampir mencapai tempat mereka bertiga. Makin riang pula hati Vela. Semakin dekat lalu….

“halo anak hebat…selamat datang…!!!” *menyebutkannya berkali-kali*
“hai gadis kecil…aku sudah menyiapkan ribuan nama untukmu, kau bebas memilih mana yang kau suka…”
Begitu senangnya hati Vela hingga ia tidak sempat melihat puluhan anak-anak penyu ini bukanlah berenang ke arahnya, melainkan ‘terbawa arus’ hingga seolah mendekat ke arahnya…


Vela merendahkan letak kepalanya, membuat bibirnya setara dengan  tinggi air laut, ia ingin menjadi semacam garis finish dari sekian anak penyu yang ia anggap berlari menujunya. Ia menutup mata. Melentangkan kedua tangan. Sesekali ia menghirup udara pagi yang jernih begitu dalam. Ada kehangatan tak terbendung dalam rongga paru-parunya.

Pelan-pelan ia rasai tekstur sedikit kasar menyentuh pipinya. Ia mulai tersenyum, bibir dan alis matanya membentuk satu sudut yang sama. Sekarang anak-anak penyu seolah sudah membelai kedua lengannya. Ia tidak menggerakkan kepala dan lengannya. Takut. Ia takut kalau gerakannya membuat kawanan anak-anak penyu menjadi gusar dan berlari menjauhinya.

Vela mulai membuka matanya, betapa terkejutnya ia mendapati dirinya seperti dermaga yang sedang ditambati ratusan kapal. Ia melihat kearah Bapa Penyu dan Mama, senyum pasangan penyu ini melengkapi kegembiraan pagi ini. Vela meletakkan kedua telapak tangannya di bawah seekor anak penyu. Mendapati seekor anak penyu ini tidak bergerak. Ia meniupnya. Bersiul. Nihil….hanya ada puluhan bangkai anak penyu dengan sorot mata yang juga teduh sejak semula. Vela memberikan tempat bagi kesunyian, berharap kesunyian akan dan harus mengembalikan nyawa sang anak-anak penyu.

***

Lebih dari 1800 hari, akhirnya luka kering tak berdarah menembus waktu. Lautan air garam menjadi saksi pertama, atas kebingungan yang mereka tempatkan ribuan hari pada seorang gadis yang selalu duduk terdiam dibunuh waktu disana,di tepi pantai. Air mata menjawab, kata Dewa Laut. Sempurnalah kesedihannya, hiduplah ia.

 ***
Di tengah ketidakmengertian bercampur kekecewaan Vela, Mama Penyu tetap bergandengan erat Bapa Penyu, tetap tersenyum, bahkan sudut senyum mereka tidak berkurang satu derajat pun. Sesekali mereka berdua menengadah ke langit. Sesekali pula mereka melemparkan senyum ke arah Vela. Namun Vela terlalu sibuk dengan kesedihannya.  Tangis sedih diiringi jeritan Vela bahkan mampu menembus jauh ke dasar laut, terdengar oleh Gurita Peramal. Vela tetap tak perduli, ia masih tetap menyapa dengan getaran suara mirip anak kecil yang tiba-tiba berhenti menangis karena diberi permen. Ia masih menaruh harapan pada anak-anak penyu yang ‘kelihatan’ masih berenang kearahnya. Ia bahkan sempat beberapa kali mengangkat dan mengajak bicara anak penyu yang sudah mati, berharap mereka hanya tertidur.

 ***

“Mengapa kau masih tetap memberi banyak telur ? Tidak kah kau saksikan anak-anak mu akan mati tanpa sempat berbicara pada mu, atau hanya untuk sekedar mengucapkan ‘mama’ !!” *berteriak*
“Karena aku berharap kau akan menanyakannya pada ku suatu saat Vela…”
“Lalu bagaimana kalau aku tak pernah datang dan bertanya ? Mengapa kau dengan mudah memberi kehidupan, tanpa upaya memastikan semuanya mampu benar-benar hidup !!! Pada siapa kau alamatkan rasa kehilanganmu !!”

Bapa Penyu yang meilihat Vela menangis mencoba mendekatinya, masih dengan senyum yang sama dari saat gelap tadi, ia seolah mengerti apa yang akan terjadi.

“tidak kah kau mengalami ribuan hari penuh kekecewaan karena cinta yang telah kau berikan ternyata tidak kembali kepadamu atau bahkan sekedar singgah untuk menyapamu ? Lalu kemudian kau berpikir mereka tersesat menujumu. Kau mulai yakin ini semua soal penantian, kau berharap pasti ada yang tersesat.
“Tapi saat penantian tak menyediakan jawaban, kau menganggap cinta itu sudah mati. Kau bahkan tak tau cinta-cinta itu pun tersenyum kepadamu, menunggu kau membalas senyum mereka..kau lebih memilih mengubur mereka hidup-hidup karena mereka tak punya mata seperti mata yang kau punya….”
“cinta selalu punya posisi, dimanapun dan kapan pun ia lahir. Kau ingat saat kau berlari membelah ombak, tak peduli betapa gulungan-gulungan air asin ini menghadangmu, detak jantungmu bahkan sanggup bergema. Kau merasakannya dengan jelas bukan !”
“karena cinta hanya untuk cinta”



Lama mereka bertiga terdiam, terdengar semacam suara percikan air, kecil tetapi punya pola. Suara tersebut ternyata berasal dari anak-anak penyu yang ‘beruntung’ hidup. Jumlah mereka sekitar delapan ekor. Semuanya berenang susah payah menghampiri wajah Vela. Mata Vela yang tertutup sembab kini disentuh semacam benda asing yang bergerak-gerak. Ragu-ragu membuka kedua matanya. Senyum merekah di wajahnya.


***


“vela…itu kah nama mu ?”
*mengangguk pelan*
“kami telah ada dan bertahan hidup dari jutaan tahun yang lalu, para tua-tua pernah bercerita bahwa keluarga kami telah bermigrasi dari laut utara yang sangat dingin….Lalu diantara keluarga kami pada waktu itu, ada seekor penyu tua yang dipanggil ‘mama vela’ oleh semua jenis tumbuhan maupun hewan di dunia laut….”
“mama vela ??”
“Betul….ia adalah penyu yang berbeda, punya semacam cahaya di kedua tangannya…Tidak ada tempat bagi kesedihan dan keputusasaan saat ia mulai menyapa semua makhluk di dunia laut satu-persatu. Setiap malam ia selalu muncul kepermukaan laut untuk mengangkat tangannya, supaya jutaan bayi-bayi penyu mampu melihat cahayanya saat pertama kali menetas dari telur. Cahaya yang jadi panduan semua anak keturunan kami untuk menuju laut…sekarang kami selalu percaya bahwa ia masih setia berada disini, di sekitar kami, dan cahayanya senantiasa menuntun anak-anak kami…”
“cahaya…” *mengangkat kepala menghadap langit*
“jaga dirimu manis ku…”

***

Vela terbangun di hamparan pantai pasir putih. Inilah saat pertama ia berhasil mengingat, mengingat tempat ini adalah tempat ia biasa menghabiskan hari. Sejenak ia menatap laut di depannya. Tersenyum. Lalu kembali. Kembali hidup.


-Jogja,19 Des ’10-
 *PS.Vela dalam bahasa portugis berarti Lilin.

2 comments:

  1. ubercool!!!! Lebih menjual..daripada nge-poem terus???

    ReplyDelete
  2. @Decryto : justru nge-poem itu lebih memberikan ruang bagi pembaca untuk terlibat secara langsung memaknai isinya, kan ? :)

    ReplyDelete