Hari ini katanya
Hari Anti Korupsi Sedunia.
Jika saya
mengalami masalah dengan pencernaan saya, spesifiknya seperti susah BAB, maka
hal yang biasa saya lakukan adalah mendengar, membaca, atau menonton wacana
mengenai etika politik. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut para pelaku
politik praktis, seperti “kejujuran adalah nilai yang tidak dimiliki..” atau “tidak
mengimplementasikan kaidah agama dalam….” atau “karena siapapun yang
melakukan korupsi akan disiksa di alam kubur bla..bla..bla..” ternyata
menjadi solusi yang efektif buat masalah pencernaan saya.
Kepenatan
tersebut barangkali tidak dirasakan oleh mereka yang hingga hari ini masih
berpikir bahwa ‘kejujuran’ adalah zat yang melekat dalam setiap manusia, bahwa
‘etika’ adalah senyawa dimana unsur-unsur seperti : jujur, adil, sopan, sederhana,
dsb menjadi (satu-satunya) rumus bagi proses penyelenggaraan sistem yang
katanya demi kemashalatan publik.
Apakah nasib
berjuta manusia yang hanya menjadi sub-ordinat dari konstelasi politik dapat
diabaikan dengan alasan ‘khilaf’ ? Lalu apa sebenarnya yang memegang kendali
atas seusatu yang dilabelkan sebagai etika dimana kejujuran merupakan produk
turunannya dan menjadi antithesis dari perilaku korup ?
Menurut saya,
terdapat paling tidak 4 pendekatan yang biasa digunakan oleh masyarakat awam
maupun para akademisi dalam melihat dan menyikapi kepenatan (kebuntuan) sekian
persoalan social politik kita hari ini. Pendekatan pertama adalah
pendekatan institusional. Kalangan ini menganggap bahwa semua persoalan harus
dilihat dari ketersediaan dan kapasitas institusi-institusi maupun peraturan
yang mendukung. Untuk itu perlu dibuat badan-badan seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi ataupun sejenisnya. Pendekatan kedua adalah
pendekatan liberal. Kelompok pendukung pendekatan ini menganggap bahwa semua
tergantung dari karakter pribadi masing-masing. Artinya bahwa seperti apapun
carut-marut kondisi sosial politik suatu system tata Negara, semua akan
tergantung pada pribadi-pribadi pemimpin. Pemimpin yang baik niscaya akan
membawa pembaharuan ke arah yang lebih baik. Pendekatan ketiga adalah
pendekatan kultural. Dalam pandangan kelompok ini, orang akan menerima bahwa
suatu saat perbaikan itu tentu akan datang. Di konteks masyarakat Indonesia,
orang masih naïf untuk yakin tentang eksistensi ratu adil atau ramalan
jayabaya. Pendekatan keempat adalah pendekatan structural.
Kelompok pendukung pendekatan ini menganggap bahwa semua distorsi social
politik maupun ekonomi baik yang bersifat vertical maupun horizontal berakar
pada bagaimana hubungan struktur-struktur kekuasaan terbangun.
Salah seorang
sosiolog terkemuka pernah mengatakan bahwa "hubungan yang terlampau intens
antara si penindas dengan yang ditindas akan membentuk watak yang ditindas
menjadi sang penindas pula". Dan hari ini saya sepakat bahwa pernyataan
ini mampu menggambarkan rantai atau pola kebudayaan yang terbentuk dan disatu
sisi tawaran etika sebagai obat ternyata belum mampu memutus rantai tersebut,
alih-alih membuat pola tandingan.
Tulisan singkat
ini memang tidak dimaksudkan untuk mengkaji secara komprehensif karena saya pun
belum punya kapasitas untuk itu, namun dengan upaya mengeneralisasikan (secara
sangat sederhana) berbagai pendekatan diatas, semoga kawan-kawan pembaca yang
lebih expert bisa lebih leluasa merefleksikan dan melihat kembali persoalan
mendasar yang sering dikerucutkan menjadi "korupsi versus etika".
No comments:
Post a Comment