Friday, December 9, 2011

[korupsi vs etika]


Hari ini katanya Hari Anti Korupsi Sedunia.

Jika saya mengalami masalah dengan pencernaan saya, spesifiknya seperti susah BAB, maka hal yang biasa saya lakukan adalah mendengar, membaca, atau menonton wacana mengenai etika politik. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut para pelaku politik praktis, seperti “kejujuran adalah nilai yang tidak dimiliki..” atau “tidak mengimplementasikan kaidah agama dalam….” atau “karena siapapun yang melakukan korupsi akan disiksa di alam kubur bla..bla..bla..” ternyata menjadi solusi yang efektif buat masalah pencernaan saya.

Kepenatan tersebut barangkali tidak dirasakan oleh mereka yang hingga hari ini masih berpikir bahwa ‘kejujuran’ adalah zat yang melekat dalam setiap manusia, bahwa ‘etika’ adalah senyawa dimana unsur-unsur seperti : jujur, adil, sopan, sederhana, dsb  menjadi (satu-satunya) rumus bagi proses penyelenggaraan sistem yang katanya demi kemashalatan publik.

Apakah nasib berjuta manusia yang hanya menjadi sub-ordinat dari konstelasi politik dapat diabaikan dengan alasan ‘khilaf’ ? Lalu apa sebenarnya yang memegang kendali atas seusatu yang dilabelkan sebagai etika dimana kejujuran merupakan produk turunannya dan menjadi antithesis dari perilaku korup ?

Menurut saya, terdapat paling tidak 4 pendekatan yang biasa digunakan oleh masyarakat awam maupun para akademisi dalam melihat dan menyikapi kepenatan (kebuntuan) sekian persoalan social politik kita hari ini. Pendekatan pertama adalah pendekatan institusional. Kalangan ini menganggap bahwa semua persoalan harus dilihat dari ketersediaan dan kapasitas institusi-institusi maupun peraturan yang mendukung.  Untuk itu perlu dibuat badan-badan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun sejenisnya. Pendekatan kedua adalah pendekatan liberal. Kelompok pendukung pendekatan ini menganggap bahwa semua tergantung dari karakter pribadi masing-masing. Artinya bahwa seperti apapun carut-marut kondisi sosial politik suatu system tata Negara, semua akan tergantung pada pribadi-pribadi pemimpin. Pemimpin yang baik niscaya akan membawa pembaharuan ke arah yang lebih baik. Pendekatan ketiga adalah pendekatan kultural. Dalam pandangan kelompok ini, orang akan menerima bahwa suatu saat perbaikan itu tentu akan datang. Di konteks masyarakat Indonesia, orang masih naïf untuk yakin  tentang eksistensi ratu adil atau ramalan jayabaya.  Pendekatan keempat adalah pendekatan structural. Kelompok pendukung pendekatan ini menganggap bahwa semua distorsi social politik maupun ekonomi baik yang bersifat vertical maupun horizontal berakar pada bagaimana hubungan struktur-struktur kekuasaan terbangun. 

Salah seorang sosiolog terkemuka pernah mengatakan bahwa "hubungan yang terlampau intens antara si penindas dengan yang ditindas akan membentuk watak yang ditindas menjadi sang penindas pula". Dan hari ini saya sepakat bahwa pernyataan ini mampu menggambarkan rantai atau pola kebudayaan yang terbentuk dan disatu sisi tawaran etika sebagai obat ternyata belum mampu memutus rantai tersebut, alih-alih membuat pola tandingan.

Tulisan singkat ini memang tidak dimaksudkan untuk mengkaji secara komprehensif karena saya pun belum punya kapasitas untuk itu, namun dengan upaya mengeneralisasikan (secara sangat sederhana) berbagai pendekatan diatas, semoga kawan-kawan pembaca yang lebih expert bisa lebih leluasa merefleksikan dan melihat kembali persoalan mendasar yang sering dikerucutkan menjadi "korupsi versus etika".

No comments:

Post a Comment